Jumat, 12 Februari 2010

Tingkatan Makrifat..........................

Adapun tingkatan mengenai Ma’rifat dalam Tasawuf, Dzunnun al-Misri mengklasifikasikannya kedalam tiga tingkatan yaitu : Ma’rifah awam, Ma’rifat ulama dan Ma’rifah sufi.

Pertama, Ma’rifat orang Awam, yaitu mengetahui Tuhan dengan perantaraan ucapan Syahadat. Ucapan syahadat dapat juga disebut Syahadatain (dua kalimat Syahadat), kesaksian atau pengakuan, yang dalam hal ini adalah (a) Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah; ini disebut Syahadat tauhid. (b) Bersaksi bahwa Nabi Mauhammad adalah untusan Allah kepada sekalian manusia; ini disebut Syahadat Rasul. Sedangkan bunyi dua kalimat Syahadat yang dimaksudkan adalah sebagai berikut :

اَشْهَدُ اَنْ لاَ ِالَهَ اِلاَّ اللهُ . وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْ لُ اللهِ

Artinya : “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwasannya Muhammad itu adalah utusan-Nya”

Pengucapan dua kalimat Syahadat ini merupakan syarat utama untuk memasuki agama Islam dan merupakan kesaksian yang pundamental (mendasar) bagi umat muslim pada khususnnya, Sebab dengan pengikraran itu, ia telah menyatakan dengan tegas untuk tidak menyembah apapun kecuali Allah semata. al-Ghazali berpenadapat Meyakini bahwa “Tiada Tuhan selain Allah” merupakan i’tikad yang harus ditanamkan dalam jiwa, dan tidak mengikuti ajaran siapapun kecuali yang datangnya dari Muhammad SAW. Seseorang yang telah mengucapakan dua kalimat syahadat itu, berarti ia telah melakukan sumpah setia dihadapan Allah, bahwa hanya Dia sajalah yang disembahnya, dan bahwa Nabi Muhammad sajalah yang menjadi panutan hidupnya

Kedua, Ma’rifat Ulama, yaitu mengetahui Tuhan dengan logika atau akal. Dalam tingkatan kedua ini dapat disebut Ma’rifat para teologi (mutakalimiin), seperti Mu’tazilah, Asy-Ariyah, Qodariyah, Syi’ah, Khawarij, Murji’ah. Dimana para teolog tersebut mengenal Tuhan lewat logika atau akal, baik dalam bidang Islam yang tekstual maupun kontekstual.

Ketiga, Ma’rifat Sufi, yaitu mengetahui Tuhan dengan perantaraan hati sanubari. dalam istlah Ibnu ‘Atha’illah disebut sebagai ‘ain bashirah dan haqqul bashirah atau dalam istlah al-Qusyairiyah disebut ‘ainul yaqiin dan Haqqul yaqiin.

Pengetahuan menurut pengertian yang pertama dan kedua, belumlah merupakan pengetahuan yang hakiki (sesungguhnya) tentang Tuhan, keduanya masih disebut Ilmu bukan, Ma’rifat, dalam istilah Tasawuf disebut ilmu al-yaqin, akan tetapi yang merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan dan pengetahuan ini disebut “Ma’rifat”. Ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi, yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka.

Dalam hal ini Al-Junaid telah berkata bahwa : “sesungguhnya awal yang dibutuhkan oleh manusia dari sesuatu yang bersifat hikmah adalah mengetahui sang Pencipta atas keterciptaannya, kebaruan diri tentang bagaimana kebaruannya, sifat keperbedaan, “Dzat lama dari Dzat yang baru” (alam), menurut pada ajakan-Nya, dan mengetahui keharusan diri untuk taat kepada-Nya. Sesungguhnya orang yang belum mengetahui Dzat -Sang penguasa alam-, maka ia tidak akan mengetahui keberadaan kerajaan alam tentang status kepemilkikannya itu untuk siapa”, dan disini al-Junaid masih memberikan komentarnya bahwa seorang ahli Ma’rifat itu membatasi tingkah lakunya dalam empat perkara :

Orang ahli Ma’rifat mengenal Allah, sehingga ia telah berkomunikasi langsung antara dia dengan Tuhan tanpa perantara.

Dasar hidup dan kehidupannya mengikuti Sunnah Rasul, meninggalkan akhlak yang rendah dan hina.

Mengikuti hawa nafsu yang telah diajarkan Allah dalam alqur’an

Merasa dirinya milik Tuhan dan kepada-Nya ia akan kembali

Dalam litelatur tasawuf yang lain arif (orang yang berma’rifat) terbagi kedalam beberapa tingkatan dan cara yang berbeda, tingkatan dan cara tersebut anatar lain :

- Diantara mereka (arif) ada yang mengenal Allah dengan kudrat-Nya, lalu dia merasa takut kepada-Nya.

- Diantara mereka (arif) ada yang mengenal Allah dengan muraqabah (mengawas diri), lalu dia merasa yakin akan kebenaran itu.

- Diantara mereka (arif) ada yang mengenal Allah dengan kifayah (menjamin segal keperluan hamba-Nya dan memberikannya), lalu dia menunjukan kefakiran kepadanya.

- Diantara mereka (arif) ada yang mengenal Allah dengan sifat keeasaan-Nya, lalu dia bergantung kepada sifat kesucian-Nya.

- Diantara mereka (arif) ada yang mengenal Allah dengan sifat ketuhanan-Nya, lalu dia berpegang pada pertalian dirinya dengan Allah

Dalam upaya untuk memasuki Ma’rifat tesebut, berarti memasuki suatu jalan yang tujuannya menganal sesuatu itu dengan sungguh-sungguh, bahwa siapa manusia itu dan siapa yang menjadikannya dan siapa yang menciptakan sekalian itu. Ilmu tasawuf meringkas jalan Ma’rifat berdasarkan hadits Rasulullah SAW : “Barang siapa mengenal dirinya, niscaya ia akan mengenal Tuhannya”. Adapun tahapan-tahapannya antara lain :

Mengenal diri sendiri, Mengenal diri ialah mengetahui diri itu tersusun dari dari bentuk-bentuk lahir (yang disebut badan atau jasad) dan bentuk-bentuk batin (yang disebut qalbu dan jiwa). Yang dimaksud dengan qalbu itu bukanlah segumpal daging yang berada disebelah kiri badan di bawah susu (yang dikatakan jantung). Tetapi dialah ruh suci dan berpengaruh dalam tubuh dan dialah yang mengatur jasmani dan segenap anggota badan, dialah hakikat insan (yang dinamakan diri yang sebenarnya, dialah yang bertanggungjawab dan dialah dipuji dan disiksa oleh Allah SWT.

Untuk meneliti dan mengenal diri sendiri itu, maka jasad diumpamakan seperti kerajaan, dan ruh sebagai rajanya yang berkuasa dan dialah yang mengatur jasmani. Adapun jasmani adalah sebagai kerajaan dalam bentuk alam al-Musyahadah atau alam material. Seluruh badan jasmani akan hancur binasa setelah mati, tetapi hakikat ruh dan jiwa tidak akan mati, ia akan tetap tinggal dalam ilmu Allah. Adapun ruhani/jiwa adalah sebagi raja dalam bentuk alam gaib, maksudnya bahwa ruh/jiwa itu adalah gaib, ia tidak tentu tempatnya dalam sesuatu bagian tubuh, oleh Karena itu orang memerintahkan atas kerajaan kecil dalam dirinya sendiri. Sungguh benar sekali istilah yang menyebutkan bahwa “manusia adalah mikrokosmos” atau dunia kecil dalam dirinya sendiri.

Sebagian tokoh sufi menyebutkan bahwa hakikat qalbu atau ruh itu dapat dicapai oleh seseorang dengan memejamkan kedua matanya serta melupakan segalanya yang ada di sekitarnya, kecuali pribadinya. Dengan cara begitu akan terdapat kilauan dari alam abadi kepada pribadinnya (dalam mengenal dirinya). Tetapi bagaimanapun juga segala pertanyaan yang terdalam tentang hakikat ruh yang sesungguhnya, tidak diizinkan oleh-Nya, di dalam al-Qur’an Allah SWT. Berfirman :

يَسْأَلوُنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِرَبىِّ وَمَا اُوْتِيْتُمْ مِنَ اْلعِلْمِ إِلاَّ قَليِْلاً {الاسرأ : 85}

Artinya : “ Mereka itu bertanya kepada Engkau Muhammad, tentang Ruh, katakanlah bahwa ruh itu urusan Tuhanku, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit saja”. (Q.S : Al-Isra 85)

Apabila seseorang bertafakur atas dirinya sendiri, maka ia akan dapat mengetahui bahwa dirinya itu pada masa dahulunya itu, “tidak pernah ada”. Kemudian manusia itu akan mengetahui bahwa ia sebenarnya dijadikan dari setetes air mani yang tidak mempunyai akal sedikitpun, tidak mempunyai pendengaran, penglihatan, kaki, tangan, kepala dan sebagainya. Dari sinilah manusia akan mengetahui dengan terang dan nyata, bahwa tingkat kesempurnaan yang ia dapat capai bukanlah ia yang membuatnya, karena sehelai rambut pun manusia itu tak sanggup membuatnya.

Dengan jalan tersebut manusia itu akan dapat menemukan dirinya dalam kejadian-kejadian yang sangtat kecil bila dibandingkan dengan kekuasaan dan kasih sayang Tuhan. Dan apabila manusia itu berfikir jauh maka ternyata ia di dalam kehidupannya akan mengajarkan berbagai macam keperluan seperti : makan, minum, perumahan yang kesemua itu sudah tersedia di muka bumi ini dan dari sini manusia sadar akan kebesaran kasih sayang Tuhan. Oleh karena kejadian-kejadian rangka jasad sebagai bukti kekuasaan-Nya, maka manusia akan mengetahui bahwa Tuhan itu “ADA”. Oleh karena itu benar-benar bahwa dengan penelitian dan pengenalan diri sendiri akan mejadi kunci bagi pengenalan Tuhan.

Mengenal Tuhan, bagian yang penting dalam mengenal Tuhan, datangnya dari perbuatan-perbuatan manusia mempelajari dan meneliti serta memikirkan keadaan diri sendiri, yang memberikan kepada manusia kekuatan, kepandaian dan mencintai ciptaan-Nya47. Demikian alam dunia yang diciptakan penuh keajaiban keajaiban rangka jasad sebagai bukti kekuasaan-Nya.

Berdasarkan langkah-langkah diatas, tingkatan Ma’rifat dalam tasawuf di bagi kedalam tiga fase utama antara lain :

Fase pertama, Ma’rifat atas Ilmulyaqin, yakni Malik SH, memberikan pandangan bahwa Ma’rifat atas ilmuyaqin adalah pandangan/Ma’rifat dibalik tabir (wara’il al-Hijab) diyakini kebenarannya berdasarkan dalil-dalil yang dapat diteima oleh akal pikiran. Dalam tarap ini, dinamakan atas Ma’rifat ilmulyaqin.

Fase kedua, Ma’rifat atas ‘Ainulyaqin, yakni pengetahuan dengan penglihatan keyaqinan, tarap Ma’rifat pada tingkatan ini para sufi menilai atas Ma’rifat dalam tarap “fana fis-sifat atau tajalli fis-sifat, artinya tiada yang hidup, yang kuasa, yang berkehendak, yang mengetahui, berkata melainkan Allah. Firman Allah SWT :

ثُمَّ لَتَرَوُنّهَاَ عَيْنَ ْالَيِقْينِ {التكاثر : 7}

“Dan sesunggunya akan benar-benar kamu akan melihatnya dengan mata/ainul yaqiin” ( Q.S At-Takatsur : 7).

Ma’rifat atas ainul yaqiin, secara teologis berada dalam maqam tauhid as-sifat yang berarti pengeasaan Allah dari segala sifat. Muhammad Nafis mengemukakan supaya kita berada dalam maqom tersebut yaitu bahwa kita harus memusyahadahkan dengan mata hati kita dan keyakinan bahwa segala sifat melekat pada Dzat Allah SWT. Semisal qudrah (kuasa), iradah (kehendak), ilm (mengetahui), hayah (Hidup), sama’ (mendengar), basyar (Melihat), dan kalam (berfirman), adalah benar-benar sifat Allah. Sebab tidak ada lagi Dzat yang memilki sifat yang sama dengan sifat-sifat tersebut, melainkan Allah semata. Sifat-sifat yang melekat pada makhluk harus dipahami dalam konteks metaforis (mazaji), bukan konteks yang sesungguhnya (haqiqi).

Dalam rangakaian upaya menuju tajalli as-Sifat, prosesnya dilakukan secara berangsur-angsur (tadrij). Pelaksanaannya tidak dilakukan secara sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap; secara satu persatu. Hal ini diniscayakan sebab sifat-sifat tidaklah tidaklah memiliki hakikat yang sama. sifat-sifat itu ada yang lembut, keras, lebih keras, keras sekali sehingga upaya ke-fana-an dihadapan sifat-sifat illahi juga bertingkat-tingkat. Dengan demikian proses tadrij dalam hal ini menjadi penting, karena dapat mematangkan diri untuk mengenal masing-masing sifat Allah. Dengan kata lain, dapat mengenal sifat-sifat Allah karena dilakukan secara satu persatu

Sementara kaum sufi yakni orang yang mengenal Allah (arifiin) berpandangan bahwa sifat tidak lain dan tidak bukan adalah diri yang di sifati (mawsuf) itu sendiri. Yakni diri zat, akibatnya, sebagaimana dengan Dzat, yang di sifati, sifat tidak mengalami penambahan. Itulah sebabnya, menurut para sufi, dfikenal –sehingga kita harus mengakui- ungkapan-ungkapan seperti : Allahu Qadir bi Zatih (Allah berkuasa atas Dzat-Nya).

Muhammad Nafis menuturkan kejelasannya :“Ketika penyingkapan (tajalli) sifat-sifat Allah telah dipupuskan di dalam harti seorang hamaba, maka Allah Swt. Akan mengaugrahkan suatu kekuatan yang dapat menjaminnya untuk menghadapi penyingkapan (tajalli) zat, insya Allah. Maqam tauhid Sifat itulah yang menyampaikan seorang ‘arif (gnostik) menuju maqom yang berada diatasnya…”

Fase ketiga, Ma’rifat atas Haqqulyaqin, dapat disebut dengan Ma’rifat fi-Dzat atau tajalli fi-Dzat, artinya tiada yang wujud yang mutlak melainkan Allah, ia telah mencapai puncak kefanaan dalam Dzat Allah SWT.

كُلُّ مَنْ عَليَهْاَ فَانٍ وَيَبْقَى وَجْهُ َرَّبكَ ذُوْالْجَلاَ لِ وَاْلإِكْرَامِ

Arinya : “Tiap-tiap orang atasnya kebinasaan/fana dan zat Allah tetap baqa, yang mempunyai sifat sempurna dan Maha Agung”

Ma’rifat atas haqulyaqin, dari sudut pandang teologis termasuk pada maqam tauhid Az-zat yang berarti maqam tertinggi, yang karenanya menjadi terminal akhir dari pemandangan dan mausyahadah kaum arifiin (orang-orang ma’rifat ).

Di maqam ini, akan diperoleh kenikmatan (Izzah) yang adapat terlintas di hati manusia, karena ia menjadi perhentian (kesudahan) tertinggi yang mampu dicapai oleh makhluk. Maqom yang berada di atas maqam ini, tidak satupun diantara pengetahuan makhluk yang mampu mencapainya, bahkan para Nabi dan

Mala’ikat sekalipun. Ketidakmampuan untuk mencapai maqam yang di atasnya, atau disebut maqam zat Allah, hal ini diisyaratkan dalam Firman Allah SWT : Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya (Ali-Imaran : 28)

Muhammad Nafis mengemukakan :“Tidak satu pun diantara para makhluk yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Haqq, sebab, Dia bukanlah ‘ayn yang bisa dicerna oleh akal (rasional). Dia bukanlah sesuatu yang bisa dicerna oleh penyaksian (syuhud) lewat mata hati dan juga pandangan lewat mata kepala. Dia bukanlah sesuatu yang dapat ataui pernah dikenali. Tetapi Dia bukan pula sesuatu yang tidak dikenal sebagaimana beberapa kalangan menganggapnya demikian...”

Keterangan diatas, seiring dengan Ibn ‘Ibad RI. Di dalam syarh al-Hikam Ibnu ‘Atha’illah, yaitu “Orang yang menempuh jalan fana’, akan sampai kepada Allah. Kepada-Nya-lah kesudahan dan akhir dari segala perjuangan salikiin, tujuan ini pula menjadi tujuan akhir dari segenap orang yang ‘berjalan’ menuju kepada-Nya. Adapun tentang berbagai pemahaman atau konsep (mafhum) mengenai Zat itu Sendiri -Maha tinggi Allah dari pada-Nya-

Pengertian Makrifat ......................


Menurut bahasa, kata makrifat berarti mengetahui atau mengenal. Pengertian tersebut bisa diperluas lagi menjadi : cara mengetahui atau mengenal Allah melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang berupa makhluq-makhluq ciptaan-Nya. Sebab dengan hanya memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Nya kita bisa mengetahui akan keberadaan dan kebesaran Alloh SWT. Kita tentu yakin dan faham betul, bahwa tidak ada satu makhluq pun walau sekecil atau sebesar apapun, yang ada dengan sendirinya. Semuanya itu pasti ada yang menciptakan. Dan siapa lagi yang menciptakan segala makhluq tersebut kalau bukan Allah?

Tanda-tanda tentang adanya Allah sudah jelas terlihat di sekeliling kita. Setiap hari bisa melihat terbitnya matahari dari ufuk timur dan kemudian tenggelam di ufuk barat. Satu sekalipun tidak pernah terbalik. Kita juga bisa melihat betapa indahnya bulan dan begitu gemerlapnya bintang-bintang yang bertaburan di malam hari. Semua itu yang menciptakan dan mengatur peredarannya adalah Allah. Siapa yang tak mengenal Allah lewat tanda-tanda kekuasaan-Nya, ia adalah se
buta-butanya manusia. Bukan buta matanya, akan tetapi buta hatinya.
Adapun cara memperhatikan tanda-tanda kekuasa Alloh yang berupa makhluq-makhluqNya tersebut bukan sekedar dengan mengunakan penglihatan lahir saja. Tetapi harus pula ditunjang dengan penglihatan mata batin/hati yang jernih dari berbagai macam dosa.

Perhatikan sabda Rosululloh SAW kepada sahabat Abu Dzar :
"Wahai Abu Dzar sembahlah Alloh seakan-akan kamu melihatNya.
Bila kamu tidak melihat Alloh, maka yakinkan (dalam hatimu) bahwa Alloh melihat kamu".
Pembaca, buta mata belum tentu membawa bencana. Tetapi buta hati, sudah pasti akan mendatangkan siksa. Karena apabila manusia sudah menderita penyakit buta hati, selama ia belum mendapatkan cahaya illahi yang berupa petunjuk-petunjuk kebenaran, maka selama itu pula ia akan tersesat jalanya. Bukan jalan syurga yang ia tempuh, melainkan jalan ke neraka. Hal ini sesuai dengan Firman Alloh dalam Al-Qur'an surat Al-Isro' ayat 72 yang artinya :
"Dan barang siapa yang buta (hati) di dunia ini, maka ia kelak di akhirat nanti akan lebih buta bahkan lebih tersesat jalannya".

Setelah kita mengenal dan mengetahui akan keberadaan Allah, apakah lantas pengenalan dan pengetahuan kita tersebut berhenti sampai di situ saja?.Tentu saja tidak. Akan tetapi lebih daripada itu, kita sebagai hamba-Nya dan sebagai salah satu makhluq ciptaan-Nya, maka sudah sepatutnya apabila kita senantiasa mengabdikan diri secara bulat dan utuh semata-mata demi mengharapkan keridloan-Nya.

Salah satu tanda bagi orang yang bermakrifat kepada Alloh adalah ia senantiasa bersandar dan berserah diri kepada Alloh semata. Apapun yang telah dan akan terjadi pada dirinya, selalu diterima dengan baik. Apabila ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur sedang apabila mendapatkan musibah, ia terima cobaan itu dengan sabar. Orang yang demikian ini percaya, bahwa semua itu datangnya dari Alloh untuk kebaikan dirinya.
Sebab tidak ada sesuatupun yang terjadi di dunia ini, kecuali ada manfaat atau hikmah di balik peristiwa tersebut. Selain itu, orang yang bermakrifat kepada Allah tidak pernah menyombongkan diri. Sebagai makhluq yang lemah dan tanpa daya, manusia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali atas pertolongan dan izin dari Alloh Yang Maha Perkasa. Karena itu ia pun selalu mencari jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya guna mendapatkan pertolongan, perlindungan dan karunia dari-Nya Sedang apapun yang dapat menghalangi jalannya untuk bertaqorrub kepada Alloh SWT ia singkirkan jauh-jauh dari lubuk hatinya, seperti sifat serakah kepada dunia, kikir, sombong, riya', dan berbagai sifat tercela lainnya.
Menurut seorang ahli ma'rifat terkenal Al-Junaid, bahwa seseorang belum bisa disebut sebagai ahli makrifat sebelum dirinya mempunyai sifat-sifat :
a. Mengenal Allah secara mendalam, hingga seakan-akan dapat berhubungan secara langsung dengan-Nya.
b. Dalam beramal selalu berpedoman kepada Al Qur'an dan Al Hadits.
c. Berserah diri kepada Allah dalam hal mengendalikan hawa nafsunya.
d. Merasa bahwa dirinya adalah kepunyaan Alloh dan kelak pasti akan kembali kepada-Nya.

Adapun menurut Imam Al-Ghozali sebagaimana yang ditulis dalam kitab Ihya 'Ulumudin, disitu disebutkan bahwa ada empat hal yang harus dikenal dan dipelajari oleh seseorang yang bermakrifat kepada Allah. Keempat hal tersebut adalah:
1. Mengenal siapa dirinya.
2. Mengenal siapa Tuhannya.
3. Mengenal Dunianya.
4. Mengenal Akheratnya.

Demikian hal-hal yang harus terlebih dulu diketahui sebelum melangkah kepada topik pembahasan selanjutnya.